Senin, 30 Oktober 2023

HOTEL CAKRA SEBAGAI SAKSI SEJARAH BERAKHIRNYA KEKUASAAN JEPANG DI SURAKARTA TANGGAL 13 OKTOBER 1945

O
leh: TEMU SRI RAHAYU, S. S. 
(Guru Sejarah SMAN 8 Surakarta - Jawa Tengah)

Edisi: Vol. 4 No. 1 September - Desember 2023

Jika kita melintas di  jalan utama kota di kota Surakarta yaitu jalan Slamet Riyadi, tepatnya di Jalan Slamet Riyadi no 200, kita akan menemui bangunan yang cukup megah. Tetapi sayang sekali bangunan ini terbengkalai dan telah tutup permanen sebagai  salah satu hotel ternama di Kota Surakarta yang biasa juga disebut dengan kota Solo, yakni Hotel Cakra. Hotel Cakra merupakan salah satu bangunan bersejarah dan merupakan saksi bisu berakhirnya kekuasaan Jepang di Surakarta.

Kenpeitai Surakarta pada Masa Pendudukan Jepang

Pada masa pendududukan Jepang,  Hotel Cakra dijadikan sebagai markas Surakarta Nippon Rikugun Kenpeitai (Kenpeitai Surakarta), yakni Polisi Militer Tentara Angkatan Darat Jepang yang membawahi daerah Surakarta.  Masa penjajahan Belanda, sebelum dijadikan markas Kenpeitai,  Hotel Cakra bernama Hotel “Sam Gie”  yang dimiliki oleh seorang pengusaha Cina.

Markas Kenpeitai Surakarta  pada masa pendudukan Jepang merupakan satu-satunya markas Polisi Militer Jepang yang ada di daerah Surakarta, sehingga di luar kota tidak terdapat Markas Kenpeitai lainnya. Namun demikian  orang-orang yang menjadi kaki tangan Kenpeitai tersebar di seluruh daerah Surakarta, dan  kaki tangan Kenpeitai ini akan melapor ke Markas Kenpeitai Surakarta jika ada hal-hal yang dianggap membahayakan Jepang.

Di kalangan militer Jepang Kenpeitai yang paling terkenal dengan kekejamannya. Selama pendudukannya Jepang menerapkan sistem pemerintahan militer dengan Kenpeitai sebagai tangan kanannya. Tugas Kenpeitai tidak hanya menangani masalah kedisiplinan militer saja, tetapi juga menangani masalah-masalah sipil yang bersifat politik. Orang-orang yang berurusan dengan Kenpeitai, hampir dapat dipastikan akan mati atau mengalami cacat seumur hidup.

Sebagai komandan Kenpeitai Surakarta adalah Nakano yang berpangkat Shosa (Mayor), lalu diganti Sato yang berpangkat Tai-I (Kapten) yang masih memegang jabatan sampai diserbunya Markas Kenpeitai Surakarta pada tanggal 12 Oktober 1945.

Dari struktur organisasi,  Kenpeitai Surakarta di bawah wewenang dari Jawa Rikugun Kenpeitaicho serta Komandan Militer setempat tidak mempunyai wewenang untuk memerintah. Dengan demikian keberadaan kenpeitai Surakarta ini terpisah dengan pasukan Masse Butai (Tentara Angkatan Darat Jepang yang ditempatkan di daerah Surakarta). Kenpeitai Surakarta tidak dapat diperintah oleh Letkol Masse. 

Berakhirnya Kekuasaan Kenpeitai Surakarta

Meskipun kemerdekaan Indonesia berhasil diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, faktanya  Jepang masih berkuasa di Indonesia dan diindikasikan akan melakukan serahterima kekuasaan dengan Sekutu jika nantinya Sekutu tiba di Indonesia. Maka mau tidak mau rakyat Indonesia harus melakukan revolusi untuk mengambil alih kekuasaan Jepang baik secara damai maupun dengan kekerasan dan kekuatan senjata.

Tanggal 1 Oktober 1945, kekuasaan pemerintah sipil Jepang di Surakarta telah  menyerahkan kekuasaan  kepada KNI Daerah Surakarta, namun pemerintah militer Jepang masih berkuasa penuh serta masih bersenjata lengkap,  yakni  pasukan Masse Butai dan Kenpeitai. Maka tidak ada jalan lain, kedua pasukan militer Jepang tersebut harus dilucuti dan menyerahkan kekuasaannya kepada KNI Daerah Surakarta, baik dengan cara halus maupun dengan kekuaatan senjata.

Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1945, di Markas kenpeitai Surakarta Tyusa Masse secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada KNI Daerah Surakarta. Surat penyerahan kekuasaan ditanda tangani oleh Tyusa Masse dan ketua KNI Daerah Surakarta Mr. Soemodiningrat. 

Selanjutnya  Tyusa Masse membuat meirei (perintah) yang ditujukan kepada komandan-komandan pasukan bawahannya. Intinya memerintahkan agar semua senjata dari pihak tentara Jepang di serahkan kepada pihak Indonesia.

Dengan meirei tersebut dilakukanlah pengambilalihan senjata di markas-markas tantara Jepang. Sehingga sejak menyerahkan Tyusa Masse, rakyat pejuang daerah Surakarta sudah merupakan kesatuan bersenjata. Adapun satu-satunya kekuasaan Jepang yang masih berkuasa hanyalah Kenpeitai Surakarta yang bermarkas di Timuran.

Pendekatan terhadap Kenpeitai Surakata, sebenarnya sudah dilakukan oleh KNI Daerah Surakarta sejak menyerahnya Syucokan Watanabe, namun Kenpeitai menolak menyerahkan kekuasaan. Melihat kesombongan Kenpeitai tersebut, kemungkinan besar pada saat itulah rakyat pejuang Kota Solo menginginkan Markas kenpeitai direbut dengan kekuatan senjata. Tetapi untuk merealisasikan hal ini,  tidaklah mudah, karena rakyat daerah Surakarta termasuk Kota Surakarta belum bersenjata. Barulah setelah rakyat pejuang Kota Surakata memperoleh senjata dari pasukan Masse Butai, mulailah mereka mempersiapkan diri secara intensif untuk menghadapi Kenpeitai.

Pada tanggal 8 Oktober 1945 jam 23.00 WIB, di gedung kebudayaan di Pasar Legi diadakan rapat yang dihadiri para pemuda. Dalam rapat yang dihadiri Sayuti  Melik,  ia mengusulkan jika perlu Kenpeitai dipaksa untuk menyerah.  

Ternyata golongan tua tidak menghendaki pertempuran serta ingin Kenpeitai menyerah tanpa kekerasan. Maka dikirimlah delegasi yang terdiri dari: dr. Kartono, Suprapto, Sukatmo, Iskandar dan lain sebagainya untuk mengadakan perundingan dengan pihak Kenpeitai. Tetapi perundingan  gagal dan Kenpetai  menyatakan merasa tidak kalah dengan pihak Indonesia.

Tanggal 12 Oktober 1945 jam 16.00 WIB, Mr. Soemodiningrat yang di dampingi oleh Mulyadi  Djojomartono dan Sunarto Kusumodirdjo mengadakan perudingan dengan Kapten Sato agar Kenpeitai menyerah, karena rakyat Kota Surakarta sudah siap menggempur Markas Kenpeitai.   Merespon ini , Kapten Sato berubah sikap menjadi lunak, yakni bersedia menyerah dengan suatu syarat sebagai berikut:

  • Serah terima kekuasaan antara Kenpeitai dengan KNI Daerah Surakarta tidak dilakukan pada saat itu di Kota Surakarta, melainkan di Baros, Tampir, Boyolali. Dengan alasan mereka malu serah trima disaksikan oleh rakyat Kota Surakarta.
  • Untuk keberangkatan ke Tampir, Boyolali, pihak Kenpeitai minta disediakan dua buah mobil sedan serta empat buat truk untuk mengangkut para opsir dan prajurit Kenpeitai.
  • Dua buah mobi l dan empat buah truk tersebut harus sudah dikirim ke Markas Kenpeitai pada pukul 19.00 WIB.

Maka   pada pukul 17.00 WIB, Mr. Soemodiningrat melalui telepon memerintahkan kepada Kepala Kepolisian R. Ngb. Domopranoto  untuk menyediakan kendaraan-kendaraan  untuk memenuhi  permintaan Kenpeitai tersebut. Namun penyerahan bersyarat tersebut ditolak oleh para pemuda pejuang. Bahkan semua kendaraan di Kota Solo disembunyikan, sehingga mobil sedan dan truk yang akan dikirim ke Markas Kenpeitai tidak ada.

Pertempuran di Kota

Selanjutnya diadakan perundingan  sekali lagi yang intinya agar Kenpeitai menyerahkan kekuasaannya saat itu juga serta dievakuasi ke Tampir, Boyolali tanpa senjata. Tetapi hal ini ditolak oleh Kenpeitai serta mereka masih bersikeras dengan penyerahan bersyarat yang telah disetujui.  Akhirnya diputuskan bahwa Kenpeitai akan direbut dengan jalan kekerasan. Langkah selanjutnya dilakukanlah persiapan-persiapan untuk mengepung markas Kenpeitai.

Setelah diadakan pengepungan total dari segala arah, Kenpeitai  hanya bertahan di markas. Untuk menghindari hal–hal yang tidak diinginkan, pada jam 19.00 penduduk di sekitar Markas Kenpeitai diperintahkan untuk pindah.

Akhirnya pada pukul 21.00 meletuslah pertempuran. Awal pertempuran ditandai dengan tembakan pertama yang dilancarkan oleh Kenpeitai. Tembakan ini ditujukan kepada Sarsono yang mendekati Markas Kenpeitai. Rakyat pejuang Kota Solo menyambut tembakan tersebut, sehingga terjadilah tembak menembak yang seru antara keduanya.

Pada hari Sabtu tanggal 13 Oktober 1945, pertempuran dengan Kenpeitai memasuki hari kedua.  Jam 06.00 pertempuran dimulai lagi dan lebih hebat daripada pertempuran sebelumnya. Rupanya rakyat sudah tidak sabar lagi dan ingin Kenpeitai segera menyerah. 

Selanjutnya pada jam  tujuh lebih sedikit, ada beberapa pemuda di antaranya Salamet dan Soedarman yang mengendarai sebuah jeep dilengkapi senjata mitraleur, mengadakan serbuan dari arah Utara. Serbuan jibaku ini disusul dengan serbuan massa yang masuk ke Markas Kenpeitai. Dengan serbuan yang mendadak ini barulah pihak Kenpeitai menyerah.

Akhirnya pada jam 7.30 pada hari Sabtu tanggal 13 Oktober 1945 secara resmi kenpeitai menyerah.  Dalam  pertempuran tersebut di pihak Indonesia korban meninggal satu orang, yaitu Arifin  serta  dari pihak Jepang dua orang.

Untuk mengenang jasanya, Arifin  diabadikan menjadi nama jembatan yang ada di atas Sungai Pepe yang menghubungkan antara Kebalen dengan Widuran.  Arifin dimakamkan di Pucang Sawit dengan upacara besar-besaran. Penyelenggaraan pemakaman dilakukan oleh pemerintah RI. Bahkan karena jasa-jasanya, Arifin mendapat anugerah Bintang Srikabadya Kelas II dari Sri Susuhunan Paku Buwono XII.


REFERENSI

  • Catatan pribadi Sadjimin Surobusono , BA., 26 Juni 1985, “Peristiwa Revolusi Kemerdekaan di Surakarta, Perebutan Kekuasaan dan Senjata Jepang”, berupa naskah ketikan.
  • Catatan pribadi Mr. BPH. Soemodiningrat, 15 Oktober 1983., Kenang-kenangan Tentang Pendudukan Jepang di Surakarta’, berupa naskah ketikan.
  • Sadjimin Surobusono, Perebutan Kekuasaan Jepang dan Pertempuran  di kenpeitai Surakarta, (Surakarta: Panitian Pelaksana Pembanguinan Monumeb, 1985.)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Implementasi Pembiasaan Literasi Di SMP Negeri 13 Surakarta Untuk Meningkatkan Kualitas Masyarakat Pembelajar

Oleh: Fadlilah Nurul Fajri Handayani, S. Pd. (Mahasiswa PPG Prajabatan Bahasa Indonesia Gelombang 1 Tahun 2023 Universitas Sebelas Maret) Ed...