Jumat, 03 September 2021

Menguak Karakter Tokoh dalam Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula

 Oleh : Partono, S.Pd.

(Guru Bahasa Jawa di  SMA Negeri 5 Surakarta)

Edisi: Vol.2 No.1 September - Desember 2021

Saat ini, perilaku menyimpang di kalangan masyarakat semakin hari semakin mengkhawatirkan. Mulai dari tindak kekerasan, kriminal, penyalahgunaan narkoba, hingga pelecehan seksual, kerap ditemukan pada berita di televisi, media sosial maupun di surat kabar. Rasa ewuh pekewuh berbuat menyimpang mulai luntur dalam kehidupan masyarakat. Fenomena tersebut tentu membuat kegundahan banyak pihak, utamanya di lingkup keluarga.

Berkaca dari realita di atas, perlu dimunculkan sebuah solusi. Banyak hal yang bisa dilakukan. Salah satunya lewat  karya sastra contohnya Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula.  Sebagai salah satu bentuk sastra tulis nusantara, kehadiran Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula diharapkan mampu menjadi jawaban atas permasalahan-permasalahan sosial di masyarakat tersebut. Alasan Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula menjadi pilihan adalah terdapat pitutur luhur yang dapat dimunculkan dari karakter para tokohnya.

Berbicara tentang pitutur luhur  erat kaitannya dengan pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi bagian yang sangat integral dalam orientasi pengajaran di sekolah formal saat ini. Mengingat bahwa di era globalisasi ini tidak jarang ditemukan anak bangsa yang berprestasi dalam bidang akademik namun memiliki keterampilan komunikasi dan tingkat etika yang rendah mutunya. Kenyataan ini dinilai kurang mencerminkan ideologi bangsa yang dituangkan dalam Pancasila. Alhasil pendidikan karakter merupakan salah satu kunci pokok terbentuknya suatu kepribadian sebuah bangsa.

Masih berkaitan dengan karakter, Wibowo (2013: 9) menuliskan kembali pendapat Lickona yang menyatakan bahwa karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan (moral feeling), yang akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral behavior). Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitive) sikap (attitudes), motivasi (motivations), perilaku (behaviors), dan keterampilan (skills).

Sejalan dengan pendapat di atas, Samani dan Hariyanto (2013: 42) menyampaikan karakter merupakan nilai dasar perilaku yang menjadi acuan tata nilai interaksi antar manusia sebagai identitas atau jati diri suatu bangsa. Samani dan Hariyanto juga menjelaskan secara universal berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasakan atas pilar: kedamaian (peace), menghargai (respect), kerja sama (cooperation), kebebasan (freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesly), kerendahan hati (humility), kasih sayang (love), tanggung jawab (responsibility), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan (unity).

Lebih lanjut, Wibowo (2013: 15) mengutip simpulan Kemendiknas (2010), nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa yang dimiliki oleh setiap suku di Indonesia di antaranya dideskripsikan secara ringkas dan jelas sebagai berikut:

  1. Religius, Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
  2. Toleransi, Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
  3. Jujur. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
  4. Disiplin. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
  5. Kerja keras, Perilaku yang menunjukkan upaya sunggu-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan dengan sebaik-baiknya.
  6. Kreatif, Perilaku berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil dari sesuatu yang telah dimiliki.
  7. Mandiri, Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
  8. Demokratis, Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
  9. Rasa ingin tahu. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarainya, dilihat, dan didengar.
  10. Semangat kebangsaan, Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
  11. Cinta tanah air. Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, keperdulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
  12. Menghargai prestasi. Sikap dan tindak yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.
  13. Bersahabat/ komunikatif. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
  14. Cinta damai. Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
  15. Gemar membaca. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan memberikan kebajikan bagi dirinya.
  16. Peduli lingkungan. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
  17. Peduli sosial. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
  18. Tanggung jawab. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya) negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.

Belajar tentang Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula berbanding lurus dengan pemahaman karakter seseorang. Apa sebabnya? Berikut ulasan tentang Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula. Serat Tripama merupakan karya sastra berbentuk tembang Dhandanggula yang berjumlah tujuh bait. Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula diciptakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (KGPAA Mangkunegara IV) di Surakarta. Tripama diterbitkan pertama kali dalam kumpulan karya Mangkunegara IV, jilid III (1927). Serat tripama berisi ajaran keprajuritan tiga tokoh pawayangaan yang ditampilkan sebagai teladan keprajuritan yaitu Suwanda, Kumbakarna, dan Busukarna.

Untuk menemukan karakter dalam Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memahami isi bait demi bait dalam Serat Tripama Pupuh Dhandanggula. Setelah paham isinya, tentu akan lebih mudah menemukan karakter  yang terkandung di dalamnya. 

1.

Yogyanira kang para prajurit,

Lamun bisa samya anulada,

Kadya nguni caritane,

Andelira sang Prabu,

Sasrabau ing Maespati,

Aran Patih Suwanda,

Lalabuhanipun,

Kang ginelung tri prakara,

Guna kaya purunne kang denantepi,

Nuhoni trah utama,


artinya:

Seyogianya para prajurit,

Bila dapat semuanya meniru,

Seperti masa dahulu,

(tentang) andalan sang Prabu,

Sasrabau di Maespati,

Bernama Patih Suwanda,

Jasa-jasanya,

Yang dipadukan dalam tiga hal,

(yakni) pandai mampu dan berani (itulah) yang ditekuninya,

Menepati sifat keturunan (orang) utama.       


2.

Lire lalabuhan tri prakawis,

Guna bisa saniskareng karya,

Binudi dadi unggule,

Kaya sayektinipun,

Duk bantu prang Manggada nagri,

Amboyong putri dhomas,

Katur ratunipun,

Purunne sampun tetela,

Aprang tandhing lan ditya Ngalengka aji,

Suwanda mati ngrana.


artinya:

Arti jasa bakti yang tiga macam itu,

Pandai mampu di dalam segala pekerjaan,

Diusahakan memenangkannya,

Seperti kenyataannya,

Waktu membantu perang negeri Manggada,

Memboyong delapan ratus orang puteri,

Dipersembahkan kepada rajanya,

(tentang) keberaniannya sudahlah jelas,

Perang tanding melawan raja raksasa Ngalengka,

(Patih) Suwanda mati dalam perang.


Dua bait syair di atas mengisahkan tentang Bambang Sumantri yang bergelar Patih Suwanda yang merupakan patih raja Arjuna Sastrabahu  (Maespati), ia merupakan contoh abdi yang sangat setia dan teguh dalam menjalankan tugas yang diembankan kepadanya untuk memboyong putri (Citrangada) dan 800 pengiringnya. Dalam syair diatas kita dapat menemukakan tiga sifat keprajuritan patih suwanda.

  1. Guna, berarti ahli, pandai dan trampil dalam mengabdi kepada bangsa dan negara, Patih Suwanda selalu membekali diri dengan ilmu dan ketrampilan.
  2. Kaya, saat patih suwanda diutus raja, dia kembali dengan membawa harta hasil rampasan perang. Akan tetapi, hasil rampasan itu tidak dipergunakan sendiri tapi diserahkan kepada negara.
  3. Purun, artinya pemberani, suwanda selalu tampil  dengan semangat menyala-nyala tanpa pamprih.


3.

Wonten malih tuladan prayogi,

Satriya gung nagari Ngalengka,

Sang Kumbakarna namane,

Tur iku warna diyu,

Suprandene nggayuh utami,

Duk awit prang Ngalengka,

Dennya darbe atur,

Mring raka amrih raharja,

Dasamuka tan keguh ing atur yekti,

De mung mungsuh wanara.


Artinya:

Ada lagi teladan baik,

Satria agung negeri Ngalengka,

Sang Kumbakarna namanya,

Padahal (ia) bersifat raksasa,

meskipun demikian (ia) berusaha meraih keutamaan,

sejak perang Ngalengka (melawan Sri Ramawijaya),

ia mengajukan pendapat,

kepada kakandanya agar selamat,

(tetapi) Dasamuka tak tergoyahkan oleh pendapat baik,

Karena hanya melawan (barisan) kera.


4.

Kumbakarna kinen mangsah jurit,

Mring kang rak sira tan lenggana,

Nglungguhi kasatriyane,

Ing tekad datan purun,

Amung cipta labih nagari,

Lan nolih yayahrena,

Myang luluhuripun,

Wus mukti aneng Ngalengka,

Mangke arsa rinusak ing bala kali,

Punagi mati ngrana.


artinya:

Kumbakaran diperintah maju perang,

Oleh kakandanya ia tidak menolak,

Menepati (hakekat) kesatriaannya,

(sebenarnya) dalam tekadnya (ia) tak mau,

(kesuali) melulu membela negara,

Dan mengangkat ayah-bundanya,

Telah hidup nikmat di negeri Ngalengka,

(yang) sekarang akan dirusak oleh barisan kera,

(kumbakarna) bersumpah mati dalam perang.


Bait ketiga dan keempat syair tembang di atas berkisah tentang Kumbakarna seorang raksasa yang merupakan adik dari Prabu Dasamuka (Rahwana)  dari Alengka. Ia merupakan sosok yang memiliki jiwa kesatria serta semangat cinta tanah air. Saat Alengka diserang oleh tentara kera, Kumbakarna turut maju, bukan untuk membantu kakaknya yang bersalah melainkan untuk maju sebagi seorang kesatria yang berusaha membela dan mempertahankan tanah kelahirannya.  Pada akhirnya ia pun gugur di medan perang.


5.

Wonten malih kinarya palupi,

Suryaputra Narpati Ngawangga,

Lan Pandhawa tur kadange,

Len yayah tunggil ibu,

Suwita mring Sri Kurupati,

Aneng nagri Ngastina,

Kinarya gul-agul,

Manggala golonganing prang,

Bratayuda ingadegken senapati,

Ngalaga ing Korawa.


artinya:

Baik pula untuk teladan,

Suryaputera raja Ngawangga,

Dengan Pandawa (ia) adalah saudaranya,

Berlainan ayah tunggal ibu,

(ia) mengabdi kepada Sri Kurupati,

Dijadikan andalan,

Panglima di dalam perang Bratayuda,

(ia) diangkat menjadi senapati,

Perang di pihak Korawa.


6.

Minungsuhken kadange pribadi,

Aprang tandhing lan sang Dananjaya,

Sri Karna suka manahe,

Dene sira pikantuk,

Marga dennya arsa males-sih,

Ira sang Duryudana,

Marmanta kalangkung,

Dennya ngetog kasudiran,

Aprang rame Karna mati jinemparing,

Sumbaga wirotama.


artinya:

Dihadapkan dengan saudaranya sendiri,

Perang tanding melawan Dananjaya,

Sri Karna suka hatinya,

Karena (dengan demikian) ia memperoleh jalan untuk membalas cinta kasih,

Sang Duryudana,

Maka ia dengan sangat,

Mencurahkan segala keberaniannya,

(dalam) perang ramai Karna mati dipanah (musuhnya),

(akhirnya ia) mashur sebagai perwira utama.


Bait ke 5 dan 6  berkisah tentang (Suryaputra)  Adipati Karna. Siapa yang tak mengenal sisi fenomenal Adipati Karna. Adipati Karna dicatat sebagai menantu yang tak terlalu berbakti pada mertuanya, Prabu Salya. Paling dilematis adalah ketika Kunti, ibu kandungnya, memintanya untuk bergabung dalam barisan perang Pandawa. Adipati Karna menolak. Ia memilih bertarung dengan Arjuna, adik seibu yang seimbang kepiawaiannya dalam memanah. Alasannya Ia berutang budi pada Duryudana dan telah bersumpah untuk membalas persaudaraan itu dengan sebuah loyalitas dan memegang teguh janjinya sebagi sumpah setia untuk membalas budi prabu Kurupati. Loyalitas itu ia buktikan hingga hembusan nafas terakhirnya. 


7.

Katri mangka sudarsaneng Jawi,

Pantes lamun sagung pra prawira,

Amirita sakadare,

Ing lalabuhanipun,

Aja kongsi mbuwang palupi,

Manawa tibeng nistha,

Ina esthinipun,

Sanadyan tekading buta,

Tan prabeda budi panduming dumadi,

Marsudi ing kotaman.


artinya:

Ketiga (pahlawan tersebut) sebagai teladan orang Jawa,

Sepantasnyalah semua para perwira,

Mengambilnya sebagai teladan seperlunya,

(yakni) mengenai jasa-bakti-nya,

Janganlah sampai membuang teladan,

Kalau-kalau jatuh hina,

Rendah cita-citanya,

Meskipun tekad raksasa,

Tidaklah berbeda usaha menurut takdirnya (sebagai) makhluk,

Berusaha meraih keutamaan.


Bait terakhir berisikan tiga tokoh yang patut diteladani orang Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya, yaitu Suwanda, Kumbakarna, dan Karna.  Ketiganya memiliki cita-cita luhur berupaya untuk mencapai keutamaan dan kemuliaan hidup. Tokoh pertama adalah Suwanda. Tipikal tokoh yang memiliki karakter pandai, berani, dan tanggung jawab. Tokoh yang kedua adalah Kumbakarna. Kumbakarna  adalah tokoh yang memiliki jiwa patriotisme  yaitu rela berkorban untuk kepentingan bangsanya. Tokoh yang terakhir adalah Karna. Seorang tokoh yang tidak lupa akan kebaikan orang lain dengan berupaya sekuat tenaga untuk membalasnya. Selain itu, Karna juga terkenal memegang teguh sumpah janjinya.


Sumber Pustaka :

  • Agus, Wibowo. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra : Internalisasi Nilainilai Karakter Melalui Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
  • Panuntun, Rekso. 2002. Sekar Sumawur. Surakarta : CV. Cendrawasih.
  • Samani, M., Hariyanto. (2013). Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
  • Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2001. Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa.  Jakarta : Yayasan Paramalingua.
  • Sutardjo, Imam. (2011).Tembang Jawa. UNS : Fakultas Sastra dan Seni Rupa.
  • Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. (2000).  Bausastra Jawa. Yogyakarta : Kanisius.
  • https://wayangpustaka.wordpress.com


4 komentar:

  1. Hari ini apa yang tersanding diatas sudah tidak ditoleh oleh kalangan generasi muda orang Jawa bahkan diprediksi bahasa dan pelajaran adat istiadat orang Jawa dalam
    kurun waktu 30 th mendatang sudah
    banyak yang tidak peduli
    Termasuk negara terbukti hari ini
    Tidak ada kurikulum bahasa daerah

    BalasHapus

Featured Post

Implementasi Pembiasaan Literasi Di SMP Negeri 13 Surakarta Untuk Meningkatkan Kualitas Masyarakat Pembelajar

Oleh: Fadlilah Nurul Fajri Handayani, S. Pd. (Mahasiswa PPG Prajabatan Bahasa Indonesia Gelombang 1 Tahun 2023 Universitas Sebelas Maret) Ed...