Senin, 07 September 2020

PJJ akses lokal tanpa Internet

Indra Rahadi, S. Kom
NIP. 197609072004061010
(Guru TIK SMAN 8 Surakarta - Jawa Tengah) 

Pandemi Covid 19 telah merubah tatanan ekonomi maupun sosial yang mengakibatkan mobilitas pendidikan dan ekonomi menjadi terbatasi dan berubah secara terpaksa dan mendadak tanpa persiapan ataupun rencana proses. Masyarakat dan pemerintah bingung menentukan metode pembelajaran ideal dikala pandemi. Bangaimanapun juga anak usia sekolah sekarang ini adalah para pelaku penggerak bangsa dikala Indonesia 100 tahun merdeka kelak ditahun 2045. Visi inilah yang menjadi acuan mengapa siswa tidak segera diperbolehkan masuk kelas kembali sebelum Covid 19 benar-benar sudah bisa dikendalikan.

Disparitas Teknologi

Hampir satu semester Pandemi Covid-19 memporakporandakan pendidikan. Diawal kemunculannya telah membuat Ujian Nasional (UN) 2019 secara serempak dibatalkan diseluruh jenjang, Sebagai tindaklanjut dari permasalahan Pandemi Covid-19 yang mengekang mobilitas belajar-mengajar maka pemerintah mengambil kebijakan dengan meminta sekolah menyelenggarakan proses belajar mengajar secara daring (online) memanfaatkan teknologi informasi dengan model Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Alih-alih memberikan solusi yang nyaman ternyata PJJ menjadi kontroversi. Bermacam-macam kendala menghambat pelaksanaannya dilatar belakangi faktor ekonomi sehingga mengakibatkan disparitas terknologi. PPJ online membutuhkan perangkat smartphone yang mana bagi sebagian siswa karena kondisi ekonominya belum bisa memilikinya. Sementara itu yang memilikinyapun belum tentu kuat dengan biaya belanja kuota internet untuk proses belajar secara online terus menerus. Dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik) SMAN 8 Surakarta tempat penulis mengampu sebagai guru TIK diketahui ada 20% siswa dalam kondisi miskin dengan indikator jumlah siswa pemegang kartu KIP, PKH dan sejenisnya. Selain itu kondisi geografis yang tidak rata secara teknis menyulitkan untuk mendapatkan sinyal kuat internet utamanya didaerah pinggiran kota.

Idealnya pada pembelajaran PJJ berbasis internet memang perlu didukung infrastuktur yang baik dan biaya operasional yang cukup. Untuk pengelolaannya memerlukan software Learning Manajemen System (LMS). Kemampuan software tersebut mampu membuat operasioanl sekolah tradisional bisa berjalan secara digital. Proses belajar dikelas, interaksi guru dan siswa beserta matapelajarannya bisa terselenggara secara maya menggunakan komputer, laptop, tablet maupun smartphone. Media belajar bisa berupa buku PDF, gambar, slide, video, dan media digital lainnya. Penilain hasil belajar bisa menggunakan instrumen dalam bentuk soal pilihan ganda maupun essay atau ungah portofolio. Selain itu ada juga fitur tatapmuka secara maya (video conference) yang memungkinkan guru bisa bertemu secara digital dengan semua murid sekelas dengan mode video. Secara teknis memang pembelajaran online sudah bisa menggeser sekolah tradisional. Pada pelaksanaanya LMS sementara ini menggunakan software pihak ketiga seperti Ruang Guru, Google Classroom, Microsoft Team, Quiper dan lain sebagainya. Semakin lengkap fitur yang digunakan maka semakin rakus penggunaan kuotanya apalagi bila harus dipaksa tatapmuka maya secara teleconference menggunakan zoom, google meeting, Ms. Team atau sejenisnya.

Sebagai tindak lanjut dari permasalahan kouta internet akhirnya pemerintah menganggarkan subsidi pulsa sebesar Rp. 7,2 Trilyun. Siswa mendapatkan 35Gb dan Guru mendapatkan 42Gb. Subsidi tersebut akan disalurkan untuk 4 bulan.


WIFI akses lokal 




Sebenarnya ada suatu metode yang bisa dicoba sebagai solusi menanggulangi borosnya belanja kuota internet siswa yaitu PJJ menggunakan koneksi jaringan lokal tanpa internet dan ini sangat cocok dengan kebijakan sekolah zonasi. Secara prinsip teknisnya adalah LAN sekolah yang jangkauannya hanya dilingkungan sekolah dilebarkan menggunakan media transmisi WIFI sehingga siswa yang bermukim disekitar zonasi bisa mengakses server LMS sekolah secara lokal tanpa internet. Secara teori biaya yang dikeluarkan sekolah cukup dengan membuat tower beserta pemancar WIFI dan siswa menyiapkan alat penangkap sinyalnya dirumah. Bila masih dalam jangkauan radius WIFI siswa bisa mengakses langsung tanpa alat tambahan, namun bila jaraknya jauh bisa dibantu dengan antena penangkap sinyal model wajan bolic atau sejenisnya. Ada 2 jenis gelombang WIFI berdasarkan kerapatnya; Sinyal 2,4 Ghz memiliki jarak jangkuan lebih luas namun kecepatannya transfer datanya rendah atau 5 Ghz dengan jangkauan pendek tapi mampu mengirim data lebih cepat 2x daripada sinyal 2,4Ghz. Pengalaman penulis ketika bekerja di warnet ketika era tahun 2000an menyebutkan fakta bahwa koneksi point to point menggunakan antena grid dengan sinyal 2,4 Ghz bisa menghubungkan server internet dari lokasi sekitaran kampus Universitas Sebelas Maret Surakrta (UNS) dengan Warnet disekitaran kampus Univesitas Veteran Bangun Nusantara (Univet) Sukoharjo yang berjarak udara kurang lebih 12 km.  


Dari sisi aplikasi server, sekolah bisa menginstal software LMS pada komputer server LAN sekolah menggunakan server bekas UNBK yang menganggur tidak digunakan. Secara umum LMS Moodle memiliki fitur lengkap dan populer digunakan diseluruh dunia. Moodle bisa diunduh dan digunakan secara gratis karena bersifat open source. Untuk mendukung tatapmuka maya atau teleconference LMS Moodle bisa disandingkan dengan berbagai system teleconference open source seperti Open Meeting atau Bigbluebottom dan merk lainnya yang memiliki fitur yang sama dengan merk Zoom, Google meet ataupun Microsoft Team.


Tantangan pada pelaksanaan model ini adalah kemandirian sekolah dalam memenuhi materi belajar kedalam LMS. Pada aplikasi LMS pihak ketiga biasanya memang menyediakan repository (gudang) materi belajar yang sudah lengkap dan tinggal pakai. Namun demikian sebagian materi utamanya berupa buku format PDF sebenarnya bisa dipenuhi dengan Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang jelas sudah sesuai dengan standar BNSP. Pengembangan berikutnya bisa dipenuhi melalui gotong royong MGMP sesuai mapel dalam satu kota / kabupaten dalam membuat media ajar baik dalam bentuk video ataupun media lainnya.


Dukungan Pemerintah

Sistem ini memerlukan peran pemerintah daerah, setidaknya pemerintah daerah bisa mengeluarkan regulasi penggunaan WIFI gelombang 2,4GHz dan 5Ghz serta pengaturan chanelnya untuk layanan pendidikan didaerahnya secara gratis. Lebih jauh diharapkan pemda bisa membantu membangun infrastruktur akses jaringan lokal pendidikan hingga bisa diakses langsung ke tingkat RT/RW.

14 komentar:

  1. Makasih om jay. Sebuah kehormatan bisa dapat komentar anda

    BalasHapus
  2. Tulisannya bagus, Mohon Izin untuk mempublikasikannya di Tabloid Pendidikan Nasional ( Tapen ). No. WA sy Nupriyanto . 089514107838. terimakasih, semoga berkenan.

    BalasHapus
  3. Good idea... Sayang nya sekolahku jangkauan siswa nya jauh jauh jaeak rumahnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa dibridge poin to poin untuk kelompok yg jauh.

      Hapus
  4. Ide Bagus. bisa ditindaklanjuti.Inovatif

    BalasHapus
  5. Inspiratif mas Indra.. salam literasi angkatan prajab 2006..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih bos. Artikel pkn juga bisa diposting disini.

      Hapus

Featured Post

Implementasi Pembiasaan Literasi Di SMP Negeri 13 Surakarta Untuk Meningkatkan Kualitas Masyarakat Pembelajar

Oleh: Fadlilah Nurul Fajri Handayani, S. Pd. (Mahasiswa PPG Prajabatan Bahasa Indonesia Gelombang 1 Tahun 2023 Universitas Sebelas Maret) Ed...