Oleh: Rumu Hartini, S. Ag., M. Pd. I
(Guru Pendidikan Agama Islam SMKN2 Surakarta - Jawa Tengah)
Edisi: Vol. 2 No. 3 Mei - Agustus 2022
Perbincangan mengenai agama seolah tidak pernah surut dari perdebatan publik, bahkan telah menjadi urat nadi kehidupan manusia. Banyak “corak perdebatan” itu pada akhirnya menimbulkan konflik, kekerasan, penindasan, peperangan, bahkan pembunuhan atas nama agama. Sehingga agama sering kali ditampilkan oleh sekelompok orang dengan wajah “bringas dan sadis”, dan seolah-olah agama telah kehilangan fungsi dan perannya yaitu pembawa kedamaian dan penuh kasih sayang (Mudjiono, 2005:99), dan hal ini akhirnya memunculkan hegemonitas terutama terhadap Islam.
Hegemonitas terhadap Islam ini berasal dari tokoh-tokoh Barat, sebut saja: (1) Marx bahwa “agama adalah candu masyarakat” yang menghubungkan agama didirikan atas dasar infrastrukur ekonomi; (2) Durkheim bahwa “agama adalah fenomena kolektif” yang menghubungkan ritual keagamaan secara bersama-sama dengan benda-benda suci (Damsar, 2015:55-142); (3) Weber, bahwa “agama sebagai rangkaian perilaku keseharian yang memiliki tujuan, namun ujung-ujungnya adalah ekonomi” yang menghubungkan tentang permintaan keselamatan, hasil penangkapan buruan banyak, tangkapan ikan yang melimpah, panen yang menumpuk, dan seterusnya (Weber, 2019:429-430). Berangkat dari hal ini, maka agama sering kali dijadikan sebagai komuditas dan alat untuk mencapai sesuatu keinginan walapun harus menindas dan menginjak manusia lainnya. Padahal, tidaklah demikian, karena setiap agama yang datang pasti membawa kedamaian, bukan hanya untuk pemeluknya semata tetapi untuk seluruh isi bumi.
Agama (Nir) Kekerasan
Setiap agama pasti mengajarkan anti kekerasan, sehingga prinsip anti kekerasan mempunyai tempat yang penting dalam setiap agama. Lihat saja; (1) dalam agama Hindu tentang ajaran ahimsa yang merupakan aspek penting dalam tentang perilaku manusia, bahwa peribadatan anti kekerasan secara ketat terhadap seluruh makhluk hidup untuk mencapai nirwana jiwa dipandang sebagai kehidupan yang “paling ideal”; (2) dalam agama Budha melawan ketertiban yang intoleran diperbolehkan untuk berkembang di bawah kelas pendeta, Brahmana; (3) bagi agama Kristen bagi Yesus Kristus, Tuhan adalah Bapak kasih sayang, sangat membela keadilan, cinta, dan anti kekerasan; (4) dalam agama Islam yang begitu banyak ayat al Quran yang memerintahkan untuk berbuat baik dan memiliki hasrat luhur dalam memecahkan masalah dengan makhluk sesamanya, cinta, kebaikan kasih sayang, pemaaf, dan pemurah untuk mencapai kebenaran sejati (Wahid, 2010:48-71).
Berkiblat dari keempat prinsip empat agama di atas, maka setiap agama pada esensinya melawan segala bentuk kekerasan dan sebaliknya mengajarkan tentang cinta, kasih sayang, membela kebenaran, pemaaf, dan pemurah.
Agama Menumbuhkan Solidaritas Keumatan
Para Nabi telah memberikan prinsip-prinsip tertentu pada sistem sosial manusia, yaitu telah mengupayakan dan menganjurkan persamaan dan keadilan sosial dan menolak segala bentuk eksploitasi manusia oleh manusia lain (Behesyti, 2003:99), sebab kehidupan yang layak hanya mungkin melalui solidaritas dalam pengaturan urusan-urusan dalam manusia itu sendiri. Sehingga akan terwujud: (1) kehidupan individu yang bahagia; (2) tercapainya kehidupan keluarga yang sakinah; (3) terciptanya kehidupan yang harmonis; (4) terciptanya kehidupan negeri yang adil dan makmur dengan limpahan ampunan dari Allah; (5) kehidupan dunia yang damai antarbangsa; dan (6) kehidupan yang harmonis terhadap alam sekitar (Djaelani, 1996:293-6).
Prinsip yang telah diberikan oleh para nabi dan harapan kebahagiaan dan kehaharmonisan itu agar dapat tercapai, maka perlu dilakukan upaya-upaya agama dalam menumbuhkan solidaritas keumatan, yaitu penghapusan ancaman bagi: (1) keberlangsungan hidup manusia yang ditimbulkan oleh senjata penghancur massal; (2) keberlangsungan hidup manusia yang ditimbulkan oleh pemeliharaan yang ketat untuk tujuan-tujuan pembiasaan kehidupan; (3) kemerdekaan dan keanekaragaman ekspresi budaya yang ditimbulkan oleh terror, kedzaliman, dan pembunuhan psikofisik; (4) kelangsungan hidup biosfir yang ditimbulkan oleh kerusakan langsung dan kerusakan yang ditimbulkan oleh industri dan ekonomi yang berkaitan; dan (5) penghapusan perpecahan yang merugikan di kalangan berbagai golongan manusia yang dapat mencegak kerja sama konstruktif dalam memecahkan masalah (Wahid, 2010:88-9). Dengan upaya ini maka tidak mustakhil bahwa solidaritas keumatan akan dapat ditegakkan dan direalisasikan di bumi pertiwini ini sehingga akan menjadi “baldatun tayyibun warobbul ghofur”.
Setiap agama datang membawa kedamaian, bukan hanya untuk pemeluknya semata, tetapi untuk seluruh isi bumi. Oleh karenanya, agama haruslah mengajarkan kasih sayang terhadap sesama
(Rumu Hartini)
Sumber Rujukan
- Bahesyti, Husaini, Muhammad. 2003. Scientific Survey Islamic Ideology, terj. Abdullah Ali, Mencari Hakikat Agama: Panduan Rasional Bagi Manusia Modern, Bandung: Arasy.
- Mudjiono, Imam. 2005. Resolusi Konflik Umat Beragama Melalui Pendidikan Agama, Jurnal Pendidikan Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam Jurusan Tarbiyah, Vol. XII Tahun VIII, Juni.
- Djaelani, Abdul Qodir, 1996. Asas dan Tujuan Hidup Manusia Menurut Ajaran Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
- Wahid, Abdurrahman, dkk. 2010. Islam Anti Kekerasan, Yogyakarta: LKiS.
- Damsar. 2015. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Kencana.
- Weber, Max. 2019. Sosiologi Agama: Literatur Utama dalam Studi Relasi Sosiologi dan Agama, Yogyakarta: IRCiSoD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar