Edisi: Vol.2 No.1 September - Desember 2021
Hal yang membedakan manusia dengan binatang di antaranya adalah kebudayaan. Segala tingkah laku binatang merupakan gerak naluri atau instinsik yang sudah terprogram dalam gennya, sedangkan manusia dapat merombak tindakan- tindakan naluri itu sesuai dengan yang diinginkan, karena memang manusia memungkinlcan untuk berbudaya yang di dukung oleh adanya fasilitas fisik dan psikis serta fasilitas lainnya yang ada di luar diri manusia. Manusia berbudaya juga sangat di dorong oleh berbagai tantangan hidup dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya baik primer, sekunder, maupun tertier. Manusia juga memerlukan pedoman-pedoman berupa tata nilai yang terpola sehingga manusia mengerti bagaimana seharusnya bersikap, bertingkah laku, dan meperlakukan sesuati, bila berhubungan dengan orang lain dalam masyarakat. Bagaimana cara manusia merombak tindakan nalurinya sesuai dengan yang diinginkan atau bersikap, berlaku atau memeperlakukan sesuatu dalam berbagai hal dan tata nilai yang dipedomani yang dijadikan sebagai pranata sosial yaitu kebudayaan.
Menurut Koentjaraningrat (1996:72-78), kebudayaan manusia manapun pada dasarnya mempunyai wujud dan unsur- unsur kebudayaan, yang terdiri dari budaya fisik, sistem sosial, sistem budaya, dan nilai- nilai budaya. Lapisan nilai- nilai budaya inilah yang menentukan keadaan dan corak dari cara berfikir, bertingkah laku, dan budaya fisik manusia itu. Nilai-nilai budaya itu sukar dirubah karena sudah terpola dan telah berurat berakar dalam Icehidupan manusia. Kemudian unsur-unsur kebudayaan terdiri dari bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencahariaan, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian.
Pada kenyataannya pluralisme budaya yang ada di masyarakat Indonesia sampai detik ini belum diterima dengan lapang dada oleh sebagian kelompok, kadang justru dijadikan sebagai alat untuk tidak menghormati budaya lain, dan yang paling bahaya kadang hal itu masuk ke ranah individu. Hal ini sangat bertentangan dengan Islam dan adab ketimuran (Indonesia). Dimana Islam mengajarkan untuk saling menghormati antara satu dengan lainnya, tanpa memandang ras, suku, etnis, budaya, dan bahkan agama, sebab yang membedakan manusia dihadapan Allah Swt hanyalah takwanya. Begitu juga yang dengan norma ketimuran yang selalu menjunjung tinggi rasa saling menghormati, sopan santun, dan sebagainya dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Pluralisme budaya bangsa Indoensia hendaknya disadari sebagai kekayaan khazanah bangsa yang sangat mahal harganya yang telah di rajut oleh Bhinneka Tunggal Ika. Oleh sebab itu, peningkatan kesadaran dalam bentuk peningkatan pengertian, pemahaman, penghargaan, dan saling menghormati terhadap kebhinekaan budaya bangsa harus ditanamkan kepada semua anggota masyarakat (tak terkecuali peserta didik sebagai generasi bangsa) agar dapat tetap hidup bersama secara rukun walaupun berbeda budaya, etnis, suku, agamanya, sehingga perbedaan ini bukan menjadi batusandung dalam merajut nilai-nilai persatuan dan menyemai benih-benih kedamaian.
Pandangan Islam Terhadap Pluralisme Budaya Indonesia
Pada prinsipnya budaya adalah mulia dan ini diajarkan oleh agama manapun. Karena setiap agama mengajarkan dan menghendaki setiap pemeluknya untuk menjalankan ajaran agamanya secara utuh (kaffah) dalam berbagai segi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan negara, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hucu memiliki aturan syariat masing-masing bagi pemeluknya untuk menjalankan syariatnya dengan baik dalam rangka mencari kebenaran hakiki.
Hal ini selaras dengan Anshari (1979, 72-23), bahwa manusia berkeyakinan atau beragama didorong untuk menjawab tantangan, tuntutan, dan dorongan dari intradiri manusia atau dari ekstradiri manusia. Kemudian tujuannya ialah: life wort living, kesempurnaan, kesejahteraan, baik individu maupun masyarakat. Juga, diamini Emmanuel Kant sebagaimana dikutip Rasjidi (1970:64), bahwa jiwa yang bermoral menghendaki tercapainya percampuran antara keutamaan (virtue) dengan kebahagiaan (happiness). Percampuran ini disebut "Sumuni Bonum" artinya kebaikan yang tinggi. Keutamaan dalam bidang ma'nawi (intelligible) dan kebahagiaan dalam bidang duniawi (phenomena). Oleh sebab itu, setiap manusia harus percaya adanya kebaikan yang tinggi yang akan memungkinkan terjadinya percampuran itu.
Begitu pula dalam membuktikan adanya Tuhan yang dapat diperoleh melalui pikiran dan ide-ide dalam akal manusia termasuk adanya informasi yang datang dari luar diri manusia. Al-Kindi dalam Muslim (1977:40), mengemukakan bahwa alam ini diciptakan dan penciptanya adalah Allah Swt. Al-Farabi, juga memberi penjelasan bahwa alam ini bersifat mungkin wujudnya dan berhajat kepada yang bersifat wajib wujudnya (Allah Swt) (Muslim, 1977:41). Upaya mencari kebenaran adanya Allah Swt ini sebagaimana dilakukan Nabi Ibraliim As. Yang ditegaskan dalam firman Allah Swt (QS. Al-An'am :76-78, QS. Al Anbiya’:51).
Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Islam adalah sebuah agama hukum (religion of law). Hukum agama diturunkan oleh Allah SWT, melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw., untuk dilaksanakan oleh kaum Muslimin tanpa kecuali, dan tanpa dikurangi sedikitpun. Dengan demikian, watak dasar Islam adalah pandangan yang serba normatif dan orientasinya yang serba legal formalistik. Islam haruslah diterima secara utuh, dalam arti seluruh hukum-hukumnya dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat pada semua tingkatan (Wahid, 2001:101)
Secara umum konsep Islam berangkat dua pola hubungan yaitu hubungan secara vertikal yakni dengan Allah SWT dan hubungan dengan sesama manusia. Hubungan yang pertama berbentuk tata agama (ibadah), sedang hubungan kedua membentuk sosial (muamalah). Sosial membentuk masyarakat, yang jadi wadah kebudayaan (Gazalba: 1989:106). Konsep tersebut dalam penerapannya tidak terlepas dari tujuan pembentukan hukum Islam (baca: syari’at) secara umum, yaitu menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat (Al-Syathibiy, 2003:3).Lebih spesifik lagi, tujuan agama ialah selamat diakhirat dan selamat ruhaniah dunia, sedang tujuan kebudayaan adalah selamat di dunia saja. Apabila tidak dilaksanakan, terwujud ancaman Allah SWT, hilang kekuasaan manusia untuk mewujudkan selamat di akhirat. Sebaliknya apabila mengabaikan hubungan sosial berarti mengabaikan masyarakat dan kebudayaan. Maka hilanglah kekuasaan untuk mewujudkan selamat di dunia, yang di bina oleh kebudayaan (Gazalba, 1989:107).
Jadi Islam mempunyai dua aspek, yakni segi agama dan segi kebudayaan. Dengan demikian, ada agama Islam dan ada kebudayaan Islam. Dalam pandangan ilmiah, antara keduanya dapat dibedakan, tetapi dalam pandangan Islam sendiri tak mungkin dipisahkan. Antara yang kedua dan yang pertama membentuk integrasi. Demikian eratnya jalinan integrasinya, sehingga sering sukar mendudukkan suatu perkara, apakah agama atau kebudayaan. Misalnya nikah, talak, rujuk, dan waris. Dipandang dari kacamata kebudayaan, perkara-perkara itu masuk kebudayaan. Tetapi ketentuan-ketentuannya berasal dari Tuhan. Dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia menaati perintah dan larangan-Nya. Namun hubungan manusia dengan manusia, ia masuk katagori kebudayaan.16 oleh karenanya, pluralisme budaya yang ada di masyarakat tidak harus untuk diperdebatkan, apalagi saling menghinakan antara budaya satu dengan lainnya.
Solusi Berbasis Ishlah Demi Martabat Manusia: Perspektif Islam
Sidi Gazalba merumuskan kebudayaan dipandang dari aspek ruhaniah, yang menjadi hakikat manusia adalah “cara berpikir dan merasa, menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk masyarakat, dalam suatu ruang dan suatu waktu” (Gazalba, 1989:12). Dengan demikian, setiap orang yang berakal sehat mendambakan terwujudnya harmonisasi dan interdependensi di dalam kehidupan manusia sesuai dengan keberadaannya yang multi dimensi atau multi fungsi dan posisinya, serta yang membutuhkan orang lain, dan alam lingltungannya untuk memenuhi tuntutan hidupnya.
Langkah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dengan cara Ishlah (reformis) dalam mewujudkan harmonisasi dan interdependensi di dalam masyarakat antara: Pertama, perlunya peningkatan kesadaran semua manusia akan dirinya sebagai makhluk yang multi dimensi; makhluk sosial, makhluk makhluk beragama, makhluk berbangsa, dan bernegara yang memiliki pemerintah atau pemimpin, dan sebagainya. Kedua, perlu adanya kelancaran komunikasi antara manusia dengan sesamanya yang berbeda latar belakang budaya, keyakinan, agama, seagama, dan dengan pemerintah secara timbal balik. Ketiga, perlu upaya mewaspadai berbagai kesenjangan seperti kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi, kesenjangan pembangunan dan sebagainya yang dapat memicu munculnya kecemburuan sosial dan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai- nilai kebenaran. Keempat, perlu adanya keseimbangan di dalam kehidupan manusia seperti dengan dirinya sendiri, dengan sesama, pemerintah, dan keseimbangan hasil dari tujuan pembangunan bangsa dan negara yaitu tercapainya kesejahteraan lahir dan batin.
Melalui langkah tersebut, sehingga akan terwujud kerukunan, yaitu sikap saling meinbantu (ta'awun), saling memberi kemudahan (tasamuh), sehingga konflik sosial akan berkurang di Indonesia yang mana masyarakatnya sangat majemuk. Sikap ishlah ini pun telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw ketika di Madinah, rakyatnya terdiri dari orang Yahudi, orang Nasrani, orang Islam Anshar, dan orang Islam Muhajirin, yang memiliki beranegaraman budaya dan dapat hidup rukun dengan mematuhi Undang-Undang yang telah disepakati, yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah, dimana isinya diterangkan dalam firman Allah Swt, dalam QS. Al-Baqarah:285-286; QS. Al-Kahfi : 29; dan Al- Hujurat : 13.
Sikap-sikap tersebut jika dapat diaktualisasikan di Indonesia, maka martabat manusia akan sama-sama dapat dimuliakan (bukan sebaliknya, dihinakan karena hanya berbeda budaya, etnis, suku, atau agama), karena: (1) dapat memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; (2) dapat menciptakan stabilitas dan ketahanan nasional; (3) dapat memantapkan tiga kerukunan hidup beragama; dan (4) dapat mensukseskan dan mewujudkan tujuan pembangunan nasional yang berkesinambungan yaitu masyarakat adil dan makmur yang merata, materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan RI. Dengan demikian menghargai pluralisme budaya adalah suatu keniscayaan bagi setiap umat beragama dan warga negara.
Referensi
- Al-Syathibiy, Abu Ishak. 2003. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah, Juz II, Cet. III. Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiyah.
- Anshari, Endang Saihuddin. (1979). ilgclmu Ibn Kehuduyaut~. Surabaya : Bina Ilmu.
- Gazalba, Sidi . 1989. Masyarakat Islam: Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, Cet. II. Jakarta: Bulan Bintang.
- Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropogi. Jakarta : Rineka Cipta. Muhammad Zen, Muslim. 1 977. Pengantar Filsafat Umum. Padang : IAIN Iman Bonjol.
- Rasjidi, Muhaminad. 1970. Filsafat Agama. Jakarta : Bulan Bintang.
- Wahid, Abdurrahman. 2001. Pergulatan Negara, Agama, dan kebudayaan, Cet. II. Depok: Desantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar