(Guru Bahasa Jawa SMAN 6 Semarang - Jawa Tengah)
Beberapa waktu lalu, dimana pandemi masih menjarah Indeonesia, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim resmi meluncurkan Kurikulum Merdeka. Konsep dalam kurikulum Merdeka Belajar dibuat agar siswa bisa mendalami minat dan bakatnya masing-masing. Dimana peserta didik tidak lagi harus mengikuti kurikulum yang tersedia, namun bisa menggunakan metode belajar yang paling cocok digunakan.
Kemerdekaan Pembelajaran
Salah satu karakteristik utama dari kurikulum merdeka adalah fokus pada materi essensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang lebih dekat dengan kehidupan siswa (kontekstual), membuka banyak ruang untuk diskusi (dialogis), mengasah ketajaman bernalar, dan membangun kreativitas peserta didik.
Kemerdekaan itu selain untuk peserta didik, juga berlaku untuk guru di dalam kelas, agar dapat menentukan sendiri apa cara mengajar yang terbaik untuk anak didiknya. Selain itu, guru juga dapat secara merdeka untuk memilih elemen-elemen dari kurikulum yang terbaik. Merdeka Belajar untuk mengembalikan sistem pendidikan nasional kepada esensi undang-undang dengan memberi kebebasan kepada sekolah, guru dan murid untuk bebas berinovasi, bebas untuk belajar dengan mandiri dan kreatif, dimana kebebasan berinovasi ini harus dimulai dari guru sebagai penggerak pendidikan nasional.
Sikap Santun Berbahasa
Kesopansantunan, bagi masyarakat Jawa adalah hal yang sangat penting. Budaya Jawa sangat menjujung tinggi kesopanan atau adat ketimuran. Sopan santun seseorang dapat dilihat dan dinilai dari tingkah laku (patrap) dan tutur katanya (subasita/unggah-ungguhnya). Sehingga ada pepatah mengatakan “Ajining raga tumata ing busana, ajining dhiri gumantung kedaling lathi”, ungkapan tersebut menyiratkan bahwa baik tidaknya seseorang dapat dinilai dari cara berbusana dan tutur katanya.
Seiring perkembangan zaman di era globalisasi dewasa ini, terasa nilai-nilai budaya Jawa semakin terdegradasi. Pola pikir dan cara pandang manusia, mulai dari gaya hidup hingga perilaku keseharian, tidak terkecuali dengan tatacara dan adat istiadat Jawa sudah mulai termarginalkan oleh budaya pop yang dibawa oleh budaya manca. Perlahan tapi pasti perubahan pola pikir ini telah merubah wajah tatanan masyarakat Jawa, pergeseran itu bisa kita lihat dari cara berbahasa berbahasa Jawa generasi muda dewasa ini.
Fenomena dan fakta dari seorang pakar peneliti bahasa Jawa, Subroto (2008) telah menyimpulkan dalam penelitiannya “Endengered Krama/Krama Inggil varieties in Young Javanese Generation”, bahwa generasi muda sudah mulai kesulitan menerapkan komunikasi menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Generasi muda yang enggan menerapkan unggah-ungguh bahasa Jawa yang dianggap rumit, mereka juga kesulitan menggunakan bahasa yang sopan dan hormat (ragam krama). Alasannya adalah unggah-ungguh dinilai sulit sehingga mereka (khususnya anak muda sekarang ini) takut apabila salah menerapkan unggah-ungguh yang benar, sehingga justru dianggap tidak punya sopan santun atau sombong; alasan yang kedua bahasa Jawa (ungguh-ungguh) dipersepsikan tidak membawa kemajuan untuk cita-cita masa depannya. Padahal sebenarnya alasan tersebut tidak bisa dibenarkan, karena sebagai anggota masyarakat Jawa, yang yang pertama kali dinilai dari seseorang apakah berakhlak atau mempunyai adab yang baik atau tidak adalah dari perbuatan dan tutur katanya.
Hal tersebut menyiratkan, bahwa nilai-nilai kesopanan yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa sekarang ini dirasa semakin terpinggirkan. Tidak mengherankan bila suatu saat nanti orang Jawa lupa akan budayanya, jati dirinya dan lupa akan adat istiadatnya sendiri.
Kebijakan program “Merdeka Belajar” diluncurkan untuk mewujudkan kualitas SDM Indonesia. Mengoptimalkan penggunaan Bahasa Jawa krama berbasis self afficacy pada siswa kelas X merupakan rekomendasi alternatif untuk pembelajaran mata pelajaran Bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan mata pelajaran muatan lokal yang menjadi penting karena diharapkan bisa tercapai tujuannya, yaitu melestarikan bahasa ibu dan menjadikannya sebagai pendidikan karakter karena memuat banyak kearifan lokal.
Self-efficacy
Self Efficacy memegang peran yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran, seseorang akan mampu menggunakan potensi dirinya secara optimal apabila self efficacy – nya mendukung. Self Efficacy sangat mempengaruhi keberhasilan seorang siswa, sebab siswa yang memiliki Self Efficacy memiliki kepercayaan bahwa “saya bisa” hal ini diiringi dengan semangat yang tinggi dalam mengerjakan setiap tugas belajarnya sehingga dalam setiap kegiatan yang dilakukannya berhasil, sebaliknya untuk siswa yang tidak memiliki Self Efficacy atau memiliki Self Efficacy yang rendah, siswa tersebut memiliki kepercayaan bahwa “saya tidak bisa” hal ini ditandai dengan menghindar dalam mengerjakan banyak tugas, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan oleh siswa ini akan mengalami kegagalan.
Self Efficacy ini perlu dikembangkan atau dipupuk oleh setiap siswa, karena ini akan mempengaruhi siswa dalam kesiapan mereka untuk menerima pelajaran, baik itu pelajaran yang siswa pahami atau juga pelajaran yang sulit siswa pahami, agar siswa tersebut tidak akan mudah putus asa ketika menemukan kendala dalam proses belajarnya. Dengan adanya self efficacy yang tinggi, maka siswa dapat mencapai tujuan pendidikan secara maksimal, sehingga prestasi belajar akan meningkat. Dengan demikian diharapkan siswa tidak lagi mempunyai anggapan yang negative tentang kemampuan dirinya dalam belajar.
REFERENSI
- Edi Subroto, D. Dkk. 1987. “Sikap Bahasa Generasi Muda Jawa terhadap Bahasa Jawa di JawaTengah”. BAPPEDA Tingkat I Jawa Tengah.
- Subroto, E., Dwiraharjo, M., & Setyawan, B. (2007). Model Pelestarian dan Pengembangan Kemampuan Berbahasa Jawa Krama di Kalangan generasi Muda Wilayah Surakarta dan Sekitarnya. Surakarta: Laporan Hasil Penelitian Hibah.
- Prasetyo, B. & Haryanto. 2015. Pengaruh model pembelajaran problem based learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah. Dalam Leonard (Editor). EduResearch, Vol. 1. Jakarta: UNINDRA Press
- Kemendikbud, 2020. Permendikbud No.3 Tahun 2020 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Ditjen Dikti, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar