Selasa, 15 November 2022

STRATEGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DALAM MENANGKAL RADIKALISME

 

Edisi: Vol. 3 No. 1 September - Desember 2022

Oleh: Rumu Hartini, S. Ag., M. Pd. I
(Guru Pendidikan Agama Islam SMKN2 Surakarta - Jawa Tengah)

Radikalisme masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Kondisi ini bisa dilihat dari berbagai kasus gerakan radikalisme yang merebak dewasa ini.Serangkaian kasus kekerasan mengatasnamakan agama masih sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Sehingga kasus gerakan radikalisme di Indonesia mengalami dinamika. Jika sebelumnya gerakan radikalisme merekrut anggota dewasa secara perorangan tanpa sepengetahuan pihak keluarga, beberapa hasil penelitian menyebut rekrutmen sudah menyasar kalangan usia remaja. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bahwa sebanyak 63,6% pelaku radikalisme dari lulusan Sekolah Menengah Atas, dimana pelaku pengeboman berusia antara 18-25 tahun dan mulai direkrut serta dipersiapkan menjadi “pengantin” sejak usia antara 16-17 tahun (https://www.voaindonesia.com/a/hasilsurvei-di-jawa-tengah-rizieq-shihab-tokoh-idola/3996991, diakses pada 4 Juni 2020).

Pergerakan Radikalisme

Paham radikalisme juga terselip menjadi konten dalam materi ajar buku mata pelajaran agama. Dari sisi bahan ajar terdapat materi yang berpotensi menimbulkan radikalisme. Berdasarkan hasil penelitian Abu Rohmad, di dalam buku paket dan LKS bermunculan berbagai pernyataan yang dapat mendorong siswa membenci atau anti terhadap agama dan bangsa lain. Isu-isu seperti tafsir soal Yahudi dan Nasrani, kapitalisme barat terhadap Islam, dan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani akan menjadi pintu masuk bagi munculnya sikap permusuhan terhadap agama. Sikap ini menjadi salah satu akar paham radikalisme di alangan umat Islam (Rokhmad, 2012:109). Thohir dalam jurnalnya mengutip makalah Azyumardi Azra bahwa salah satu penyebab radikalisme adalah pemahaman keagamaan yang sempit, literal, dan sepenggal-sepenggal terhadap ayat-ayat al-Qur’an (Thohir, 2015:175). Kaum radikalis memahami teks agama tidak secara utuh dan tidak mempertimbangkan konteks zaman Nabi dengan zaman sekarang. 

Pendidikan Agama Islam (PAI) sebagai mata pelajaran dengan muatan agama, termasuk teks agama, di sekolah bisa menjadi dua mata pisau. Di satu sisi ada materi yang berpotensi memunculkan radikalisme seperti hasil penelitian Abu Rokhmad. Sementara di sisi yang lain, PAI juga bisa menjadi benteng kuat di sekolah dalam upaya melawan radikalisme. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam Islam pun terdapat beragam pemikiran yang jika tidak ditangani secara serius bisa menjadi pemantik munculnya perpecahan dalam tubuh Islam. 

Bassam Tibi menyebut perbedaan pemikiran serta fanatisme dalam berpikir turut menyumbang andil dalam munculnya konflik dalam beragama. Muaranya adalah tindakan radikalisme berbalut jihadism karena merasa paling benar (2008:8). Melihat fenomena tersebut, penulis berpendapat guru berperan vital sebagai pendidik dan pengembang kurikulum. Abdul Rohman mengungkapkan peran guru menjadi kunci. kesuksesan pelaksanaan kurikulum. Kreativitas, kemampuan, kesungguhan, dan ketekunan guru menentukan keberhasilan pelaksanaan kurikulum (Rohman, 2015:201).

Strategi PAI Menangkal Paham Radikalisme

Pendidikan adalah sesuatu yang dapat mengembangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan, serta membangkitkan nafsu generasi bangsa untuk menggali berbagai potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menyeluruh (Mulyasa, 2011:5). Pada dasarnya, Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba Allah (QS.As Syams:8; QS. Adz Dzariyat:56). Oleh karena itu, pendidikan berarti suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa, berfikir dan berkarya, untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya. Pendidikan agama Islam, pada hakekatnya adalah usaha untuk mengarahkan, membimbing semua aspek (potensi) yang ada pada manusia secara optimal (Rohman, 2009:34-36). Pendidikan agama Islam menurut para tokoh ialah sebagai berikut: Pertama, menurut Ahmadi, pendidikan agama Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan normaIslam. Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani, pendidikan adalah upaya menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air. Strategi untuk mewujudkan hakekat tersebut dalam menghadapi paham radikalisme antara lain; 

  1. Dalam proses pembelajaran pendidik menjelaskan materi secara komprehensif agar peserta didik memiliki pemahaman yang utuh. Tujuannya agar salah satu penyebab timbulnya radikalisme bisa dicegah. Pendidik juga harus sering mendengungkan nilai-nilai persatuan, kerukunan dan toleransi dalam menghadapi perbedaan pemikiran dalam Islam. Tidak hanya pendidik, kepala sekolah dan pemimpin lembaga pendidikan turut andil dalam upaya ini. Melalui kebijakan dan program yang dirumuskan, kepala sekolah dapat mengambil peran agar paham radikalisme tidak masuk. Pemimpin lembaga pendidikan dapat berupaya memberangus paham radikalisme melalui otoritas dan wewenangnya. Dengan sinkronisasi antar komponen sekolah ini harapannya paham radikalisme terus terkikis.
  2. Menjalin kerja sama dengan pemerintah, karena pemerintah memiliki otoritas penuh dalam penegakan hokum terkait paham radikalisme. 
  3. Ketiga, pihak sekolah melakukan kerja sama dengan tokoh masyarakat. Dimana selama ini tokoh masyarakat belum memerankan perannya secara maksimal dalam menyerukan secara lantang terkait moderasi beragama, kalaupun sudah melakukan hanya sebatas narasi yang berkembang pun tidak berimbang. 

Langkah-langkah tersebut jika dilakukan secara maksimal maka lembaga pendidikan akan mampu menjadi “laboratorium moderasi beragama” dalam mencegah paham radikalisme. Artinya, lembaga pendidikan mampu menjadi sarana tepat guna menyebarkan sensitivitas peserta didik pada ragam perbedaan, yang merupakan tujuan dari pendidikan yaitu untuk mengembangkan kepribadian seseorang, sehingga menjadi manusia yang cerdas dan mampu memecahkan berbagai permasalahan hidup yang dihadapinya mampu dijadikan sebagai panduan spiritual dan moral. 

Referensi:

  • https://www.voaindonesia.com/a/hasil-survei-di-jawa-tengah-rizieq-shihab-tokohidola/3996991, diakses pada 4 Juni 2020.
  • Mulyasa, Enco. 2011. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya
  • Rohman, Abdul. 2009. Pendidikan Integralistik Mengganggas Konsep Manusia  dalam Pemikiran Ibn Khaldun. Semarang: Walisongo Press.
  • Rohman, Abdul. 2015. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Semarang: Karya Abadi Jaya.
  • Rokhmad, Abu. 20012. “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal”, dalam Jurnal Walisongo, Vol. 20.
  • Tibi, Bassam. 2008. “Religious extremism or religionization of politics? The Ideological foundations of political Islam”, dalam Radical Islam and International Security, Hillel Frisch dan Efraim Inbar. London: Routledge.B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Refleksi Pembelajaran Matematika Realistik dengan Geogebra dalam Pembelajaran Fungsi Eksponensial di SMAN 1 Boyolali

Edisi: Vol. 5 No. 1 September - Desember 2024 Penulis : Windi  Hastuti, S.Pd (Guru Matematika SMAN 1 Boyolali - Jawa Tengah) Keprihatinan sa...