Kamis, 25 Maret 2021

Merangkai Pendidikan Indonesia yang Kusut

Edisi: Vol.1 No.2 Jan-Apr 2021

Oleh Arnoldus Jemadu, S.Fil.

(Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Jakarta)

 

Peradaban sebuah dunia tidak terlepas dari peran pendidikan. Hadirnya mampu mengubah tatanan manusia yang hidup dan ada di dalamnya. Tanpa sentuhan pendidikan, peradaban dengan perkembangan teknologi tak mungkin ada.

Lembaga Pendidikan memang sebuah  dapur peradaban. Darinya lahir agen-agen yang mengubah peradaban menjadi tatanan yang lebih baik.  Tanpanya apa jadinya dunia. setidaknya demikian. Hanya mau menegaskan posisi pendidikan sebagai usaha membawa masyarakat keluar dari gua kegelapan menuju peradaban yang terang.

Melalui pendidikan keterampilan orang dibentuk. Wawasan semakin luas. Inovasi dan kreativitas akan muncul. Walau harus diakui setiap kreatifitas baru tidak selamanya berasal dari lembaga pendidikan. Ada juga hasil kreativitas sendiri. Tanpa harus berjuang di lembaga pendidikan. Jumlahnya sedikit.  Setidaknya banyak ilmuwan lahir dari rahim lembaga pendidikan. Bisa menghasilkan teknologi baru dalam peradaban.

Namun menjadi soal saat output pendidikan kita belum diserap di lapangan kerja. Angka pengangguran semakin banyak setiap tahun. Data BPS 2020, menegaskan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia bersumber dari tamatan SMK. Tahun 2018, penyerapan SMA hanya 9,38 jika dibanding SMA  17,97. Tahun 2019, SMK hanya 11,68  jika dibandingkan SMA 18,26. Sementara tahun 2020, SMK hanya 11,56 jika dibandingkan  SMA 18,95 ( Bdk, BPS Agustus 2020).

Data ini memberikan sebuah sinyal. Pendidikan kita belum berhasil mencetak peserta didik yang memiliki skill.  Hal ini terlihat dari data di atas. SMK sebagai sekolah yang  melatih orang untuk memiliki keterampilan khusus malah tidak terserap di lapangan kerja..

Padahal SMK dengan kurikulum saat ini memiliki tujuan menghasilkan peserta didik yang memiliki skill. Bisa bekerja setelah tamat SMK. Apalagi dengan bekal keterampilan yang dimiliki. Jembatan yang baik untuk melamar pekerjaan. Kalaupun tidak bekerja di perusahaan atau lembaga, setidaknya mereka memiliki keterampilan dalam membangun pekerjaan baru. Tapi miris. Mereka justru menyumbang barisan penganggur. 

Masih Tertinggal  di Tingkat Global

Lembaga internasional juga menyoroti pendidikan kita. The  programme for International Student Sssessment (PISA) melihat adanya kejanggalan dalam pendidikan di Indonesia. PISA menggunakan indikator numeracy, science dan reading dalam menilai pendidikan di Indonesia.

PISA membuat  Pemilahan indikator penilain terhadap proses pendidikan di dunia.  Kategori 25% skor terbawah (low level skills) dan 75% teratas (globally competitive). Data memperlihatkan bahwa evaluasi kemampuan peserta didik kita secara global masih di  di bawah 25%.

Situasi memang sudah ditanggapi oleh pemerintah. Kebijakan yang ada sekarang mengejar ketertinggalan. Itu pun hanya berjuang mencapai 25 %.  Pendidikan kita belum menuju tingkatan kompetisi global.

Kinerja untuk mencapai 25 % itu belum mencukupi dalam pendidikan di Indonesia. Sementara PISA dalam temuannya memperlihatkan bahwa kemampuan membaca kita lambat pergerakan daripada numeric.  Untuk usaha  mencapai 75 %  top PISA, Indonesia membutuhkan 28 tahun untuk matematika dan 35 tahun untuk membaca. Jika berlandas pada data penelitian pada tahun 2015, maka tingkat membaca Indonesia bisa mencapai tahap 75 % pada tahun 2060 (Sandra Kurniawati, 2019: 266).

Data ini setidaknya mengagetkan kita. Apalagi saat membaca data yang ada dengan tingkat pendidikan kita yang sangat rendah. Tidak berbanding lurus dengan  biaya pendidikan yang lebih besar. Keadaan  ini tentu memberikan sinyal yang negatif dalam pengelolaan pendidikan kita di Indonesia.

Cacat dalam Rahim Lembaga Pendidikan

Biaya Pendidikan kita setiap tahun mengalami kenaikan. Hal ini mendukung akselerasi pemulihan ekonomi di tahun 2021, kebijakan strategis dalam APBN 2021 dialokasikan dana untuk pendidikan sebesar Rp 550 triliun.  Semenetara di tahun 2020,  pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pendidikan sebesar Rp 549,5 triliun. Angka tersebut setara 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dana dengan jumlah yang besar mendorong terciptanya sebuah pendidikan yang lebih baik. Dengan harapan output yang dihasilkan bisa diterima di pasar kerja. Biaya operasional yang besar ini bertujuan untuk melahirkan beberapa kebijakan dalam formasi pendidikan.  Kebijakan sertifikasi berlanjut untuk menunjang keterampilan guru.

Data  sangat mengejutkan di tahun 2015. Peserta gelombang pertama UKG hanya mencapai rata-rata 45. Padahal negara sudah menetapkan rata-rata 65 untuk peserta UKG. Jika pendidik saja demikian, bagaimana dengan peserta didik yang mereka ajarkan.

Begitupun dengan kebijakan dana Bantuan Operasional Sekolah. Sandra Kurniawati, dkk, dalam tulisannya, “Education In Indonesia: A White Elephant?” melihat adanya penyelewengan dalam penggunaan dana BOS.  Biaya yang memperlancar program wajib belajar hanya 48 % untuk operasional, sementara yang lain kerap dimanfaatkan secara salah (Sandra Kurniawati, 2019: 270).

Keadan ini memperlihatkan adanya kejanggalan dalam proses formal di lembaga pendidikan. Skill guru belum sepenuhnya up to date.  Tidak bisa eksis dalam perkembangan zaman. Situasi yang demikian perlu disikapi secara serius. Pemerintah perlu  mengambil kebijakan. 

Pertama, di tengah situasi pandemi seperti ini, wajah pendidikan kita memang diuji. Sejauh  mana pendidikan kita tetap eksis. Penguasaan teknologi menjadi hal yang penting bagi pendidik. Apalagi saat situasi sekarang. Guru perlu memiliki skill untuk menjadikan teknologi sebagai sarana pembelajaran. Penguasaan teknologi ini didukung dengan penguasaan materi. Tanpa penguasaan materi, teknologi tidak ada gunanya sama sekali. Karena itu profesionalisme guru dalam bidang menjadi hal perlu untuk dikembangkan. Teknologi pun demikian. Apalagi saat pandemi Covic 19, guru perlu memiliki skiil yang mampan dalam bidang teknologi. 

Kedua, pemetaan kebutuhan menjadi hal penting dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia. Dengan memanfaatkan sistem online yang ada sekarang ini setidaknya memudahkan pemerintah menginventaris segala keperluan yang ada di setiap sekolah. Hal ini bertujuan agar kebijakan tidak mubazir. Peta kebutuhan menjadi hal perlu.

Dengan menggunakan peta kebutuhan ini,sarana dan prasrana akan menjadi sama. Papua misalnya akan memiliki saran yang sama dengan yang ada di Jakarta.  Dengan pemerataan yang demikian, pemeritntah dengan mudah melihat hasil dari sebuah pendidikan yang ada di Indonesia. 

Ketiga, sistem penilaian Computer Based testing (CBT). Hal ini diperuntukan kepada guru dan peserta didik. Kepada guru CBT bertujuan untuk menguji skill guru agar bisa up to date terhadap pengetahuan. Guru yang memiliki kompetensi yang lebih diberikan tunjangan.  Sekolah lanjut menjadi hal penting dalam mengembangkan ketrampilan seorang guru. 

Penilain CBT perlu juga dibuat untuk peserta didik. Hal itu tidak bertujuan unutk menentukan kelulusan dari seorang peserta didik. Tapi ini menjadi indikator dalam menilai proses pendidikan di sebuah lembaga pendidikan. Untuk siswa penilian CBT yang memenuhi standar nasional menjadi pintu masuk di kampusn negeri. Dana seleksi mahasiswa baru di Kampus negeri akan berkurang. Mereka hanya menyeleksi siswa yang tidak memneuhi stadar nasional yang menggunakan CBT pada saat SMA. 

Sementara itu  penilaian CBT menentukan keberadaan dari sebuah lembaga pendidikan. Prosentasi yang lulus sesuai dengan standar nasional menjadi acuan dalam menilai sebuah sekolah.  Jika memang tetap berada pada posisi yang rendah dalam jangka waktu yang ditentukan, pemerintah perlu mengambil tindakan tegas.  Hal misalnya berdampak pada dana BOS yang masuk di sebuah sekolah. Dana diperuntukan kepada sekolah yang membutuhkan.  Tunjangan terhadap guru yang berada di lembaga pendidikan pun demikian. Hal ini bertujuan agar tidak main-main dalam formasi pendidikan agen-agen bangsa. 

Proses yang demikian menjadi penting dalam formasi pendidikan saat ini. kolaborasi yang demikian menjadi hal penting dalam mengejar ketertinggaln pendidikan di Indonesia. Setiap peserta orang yang terlibat di dalamnya, baik pendidik dan peserta didik perlu berkolaborasi dengan baik. Sebab, dua-duanya memiliki manfaat dan tujuan yang sama. Guru bekerja keras untuk memperjuangan tunjangan yang didapatnya dan murid bekerja keras unutk meraih masa depannya. 


Referensi

  • Badan Pusat Statistik. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2020. No.86/11/Th. XXIII, 05 November 2020. 
  • Kurniawati, Sandra. dkk. “Education Indonesia: A White Elephant?”, dalam Hall Hill dan Siwage Dhrma Negara (ed.) The Indoensian Economic In Transation. Singapore:  ISEAS Publishing, 2019. 
  • Manning, Chris and Partomo,  Devanto. “Labour Market Developments In Jokowi Year’s”,  dalam Hall Hill dan Siwage Dhrma Negara (ed.) The Indoensian Economic In Transation. Singapore:  ISEAS Publishing, 2019. 
  • Francis Wahono. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

Refleksi Pembelajaran Matematika Realistik dengan Geogebra dalam Pembelajaran Fungsi Eksponensial di SMAN 1 Boyolali

Edisi: Vol. 5 No. 1 September - Desember 2024 Penulis : Windi  Hastuti, S.Pd (Guru Matematika SMAN 1 Boyolali - Jawa Tengah) Keprihatinan sa...