(Guru Matematika SMK Negeri 3 Surakarta - Jawa Tengah)
Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik (experimentalism and social reconstructivism). Hal ini sesuai dengan tujuan kurikulum 2013 yaitu untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Kondisi awal kegiatan pembelajaran dan hasil belajar siswa di kelas XI SMK Negeri 3 Surakarta belum memenuhi harapan. Guru masih berperan terlalu dominan selama pelaksanaan kegiatan pembelajran. Akibatnya siswa menjadi pasif, kurang bersungguh-sungguh bahkan tidak mengabaikan guru selama kegiatan pembelajaran. Dengan kegiatan pembelajaran yang seperti itu menyebabkan rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa baik dari siswa sendiri maupun dari guru. Kenyataan di lapangan pelajaran matematika berlangsung membosankan dan kurang menarik, sehinggga saat kegiatan belajar mengajar siswa sebagian besar hanya duduk diam, tiduran, bahkan berbicara dengan temannya. Faktor penyebabnya antara lain: 1) siswa terlanjur menganggap pelajaran matematika sebagai momok karena sulitnya, 2) siswa kurang memiliki motivasi, dan 2) kurangnya kemampuan guru dalam menerapkan pembelajaran inovatif, guru masih menggunakan metode mengajar dan media pembelajaran yang bersifat konvensional. Siswa hanya disuruh mendengarkan dan menulis tanpa diberi kesempatan untuk berinteraksi/berdiskusi dengan siswa lain. Siswa kurang diberi kesempatan untuk mendiskusikan dengan temannya tentang apa yang ingin diungkapkannya dalam memahami materi matematika. Akibatnya hasil belajar yang diperoleh siswa masih jauh dari yang diharapkan. Untuk mengatasi rendahnya motivasi belajar dan hasil belajar akan dilakukan pembelajaran Jigsaw. Dengan menggunakan model pembelajaran ini, siswa berdiskusi untuk mempelajari materi matematika sehingga menjadikan mereka menjadi senang, aktif dan kreatif.
Model pembelajaran Jigsaw merupakan sebuah teknik yang dipakai secara luas memiliki kesamaan dengan tehnik “pertukaran dari kelompok ke kelompok” (group to group exchange) dengan suatu perbedaaan penting: setiap siswa mengajarkan sesuatu. Ini adalah alternatif menarik, ketika ada materi yang dipelajari dapat disingkat atau “dipotong” dan di saat tidak ada bagian yang harus diajarkan sebelum yang lain-lain. Setiap kali siswa mempelajari sesuatu yang dikombinasi dengan materi yang telah dipelajari oleh siswa lain, buatlah sebuah kumpulan pengetahuan yang bertalian atau keahlian. (Mel Siberman, 2007)
Model pembelajaran Jigsaw adalah suatu tipe pembelajaran yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain. Metode ini serupa dengan STAD, dalam pelaksanaannya Jigsaw juga dituntut pembagian siswa ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen. Dengan heterogen tersebut diharapkan masing-masing siswa dapat saling melengkapi. Maksudnya, tidak bisa dipastikan siswa tertentu bisa menguasai dengan benar materi yang menjadi tanggung jawab siswa tersebut, harus dipastikan dalam setiap kelompok diwakili setidaknya satu siswa yang masuk kategori siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Jika tugas yang dikerjakan cukup sulit, siswa bisa membentuk kelompok para ahli. Peserta berkumpul dengan siswa lain yang mendapatkan bagian yang sama dari kelompok lain. Mereka bekerja sama memecahkan materi yang menjadi bagiannya. Kemudian, masing-masing siswa kembali ke kelompoknya sendiri dan membagikan apa yang telah dipelajarinya kepada angggota kelompok lain. (Anita Lie, 2008).
Kunci dari model pembelajaran Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim ynag memberikan informasi yang diperlukan. Artinya, para siswa harus memiliki tanggung jawab dan kerja sama yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah yang diberikan. Menurut Anita Lie (2008) kelebihan model pembelajaran Jigsaw ini mempunyai kelebihan-kelebihan sebagai berikut:
- Memacu siswa untuk berpikir kritis
- Memaksa siswa untuk membuat kata-kata yang tepat agar dapat menjelaskan kepada teman yang lain.
- Hal ini akan membantu siswa mengembangkan kemampuan sosialnya.
- Diskusi yang terjadi tidak didominasi oleh siswa-siswa tertentu tapi semua siswa dituntut menjadi aktif.
- Jigsaw dapat digunakan bersama strategi belajar yang lain
- Jigsaw mudah dilakukan
Senada dengan pendapat di atas, Wina Sanjaya (2009) menemukan bahwa para siswa yang bekerja sama menggunakan Jigsaw lebih mampu melihat perspektif orang lain dibandingkan dengan para siswa dalam kelas kontrol. Sehingga dengan demikian sangat penting untuk mengembangkan pembelajaran kooperatif sebagai contoh dengan model pembelajaran Jigsaw ini dalam menciptakan perilaku prososial yang semakin dibutuhkan di dalam masyarakat dimana kemampuan bergaul dengan orang lain menjadi semakin krusial.
Strategi model pembelajaran Jigsaw dalam kegiatan pembelajaran matematika dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
- Bahan pelajaran yang akan diberikan dibagi menjadi menjadi beberapa bagian sesuai materi.
- Sebelum bahan pelajaran diberikan, guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari itu. Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skema siswa agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru. Dalam kegiatan ini, guru perlu menekankan bahwa memberikan tebakan yang benar bukanlah tujuannya. Yang lebih penting adalah kesiapan mereka dalam mengantisipasi bahan pelajaran yang akan diberikan hari itu.
- Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok asal secara heterogen.
- Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama, sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua. Siswa yang ketiga menerima bagian yang ketiga, dan seterusnya.
- Kemudian siswa disuruh membaca bagian mereka masing-masing dan berdiskusi pada kelompok ahli sesuai materi yang menjadi bagiannya.
- Setelah selesai berdiskusi di kelompok ahli, siswa kembali ke kelompok asal dan saling berbagi mengenai bagian yang dibaca/dikerjakan masing-masing. Dalam kegiatan ini, siswa bisa saling berinteraksi antara satu dengan yang lain di kelompok asalnya.
- Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara kelompok atau dengan seluruh kelas.
- Guru mengadakan evaluasi individu untuk mengetahui capaian kompetensi yang dipahami siswa.
Hasil akhir yang diharapkan dengan penerapan model pembelajaran Jigsaw dalam kegiatan pembelajaran matematika adalah peningkatan hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar ini sejalan dengan peningkatan kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Model pembelajaran ini menjadikan siswa lebih komunikatif dan berani dalam mengemukakan ide maupun pendapatnya di dalam kelompok. Selain itu, pembentukan kelompok secara heterogen dapat melatih siswa bersikap saling menghormati dan toleransi terhadap keragaman misalnya perbedaan latar belakang siswa, agama, suku, budaya, dan sebagainya. Siswa akan tetap bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok dan tidak memandang adanya perbedaan.
SUMBER REFERENSI
- Lie, Anita. 2008. Mempraktikkan Coopertive Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Gramedia.
- Sanjaya, Wina. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Kencana.
- Silberman, Melvin. 2007. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
- Suprijono, Agus. 2011. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi Paikem. Surabaya: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar